Mimpi di 2 Juni

Sambil mencuci piring, pikiranku berkelana menembus batas dunia nyata. Di sana, Aku seorang gadis 19 tahun yang hendak berhijrah menuju jalan-Nya. Jalan di mana aku menjadi manusia yang lebih bijak dan tak sembrono. Yaaa.... seperti itulah alur mimpinya. Aku bukan pekerja komersial yang mendapatkan upah dengan membiarkan tubuhku disentuh, bukan pula seorang pencuri, atau pembunuh sadis. Aku hanya seorang wanita muda pada umumnya yang seringkali lupa dengan dirinya. Sosok manusia yang membiarkan dirinya terbuai dengan hal-hal yang tak diperlukan dan hidup dalam dunia abstrak yang tak kasat mata, itulah aku.
Dulu, aku pernah bermimpi menjadi seorang dokter yang baik hati dan kaya raya. Pernah pula aku bermimpi menjadi seorang bintang film terkemuka, sutradara ternama, dan ilmuwan muda penuh talenta. Lambat laun, setelah waktu terlewat sekian tahun, aku tau bahwa itu hanya sekedar mimpi. Mimpi yang tak berarti karena tiada harapan yang penuh arti. Oh,,, mimpi... Ia bagai rasa lapar yang membuat orang bergairah untuk mencari makan. Kadangkala, ia juga bagai hamparan pemandangan di atas kertas, indah namun tak berbekas dalam kehidupan.
Suatu hari ketika aku di tingkat sarjana, aku mengabdi di pesantren hingga tidak pulang meski idul fitri. Saat hari libur pesantren di kota tempatku kuliah, aku pindah ke pesantren besar di luar kota tersebut untuk belajar dan tidak pulang. Di sana, kutemui sepasang mata indah yang tulus. Aku masih ingat bahwa  pasang mata itu sebelumnya pernah kulihat di acara haul pesantren tertua di Jawa Timur. Itu baru satu hari yang lalu dan saat ini aku tinggal serumah dengannya di rumah kiaiku. Matanya tulus membuatku tak sanggup melupakannya. Hingga 15 Syawal, aku tak pernah melihat wajahnya dan aku harus kembali ke pesantren di kota tempatku kuliah. Ahh, tentu saja, ada keinginan dalam diriku untuk melihat wajah si pemilik pasang mata itu. Namun, semesta mungkin belum berkehendak memperlihatkannya padaku.
Dua puluh lima hari meninggalkan pesantren ini rasanya begitu lama, kupandang langit berpolusi dari atas lantai keramik di lantai dua pesantren. Ahh, yang kuharapkan tidak akan nampak. Kota ini berada di zona merah polusi udara, tidak akan ada bintang kecuali satu atau dua dengan cahaya amat redup. Tak seperti desaku yang langitnya jernih hingga menampakkan semburat bintang penyusun bima sakti. Tak lama, kupejamkan mata dengan alunan hiruk pikuk kendaraan yang tiada berhenti hingga suatu gas menembus liang hidupku. Aroma ini, aroma si pemilik sepasang mata tulus yang pertama kulihat dua puluh lima hari silam. Kubuka mata dan memutar sendi kepala sembilan puluh derajat ke arah kiri. Aku melihat sepasang mata di atas tembok setengah tiang di teras lantai dua gedung sebelah. Sepasang mata yang tak asing, yang kurindukan dan ingin kukenal. Ia menatapku, aku berpaling dan berbalik memasuki gedung.
Pagi telah menjelang dan agenda pesantren akan segera dimulai. Seperti biasa, kegiatan pembelajaran tahun ini selalu diawali dengan halal bil halal di awal masuk pesantren sekaligus pemilihan lurah baru. Menurut teman sekamarku, ada dua calon lurah untuk tahun ini. Aku tidak tau siapa saja mereka, yang kutau mereka berdua adalah lelaki karena lurah pesantren harus seorang lelaki. Setelah diumumkan, baru aku tau bahwa nama calon lurahnya adalah Gus Irsyadi dan Gus Bagas. Pemilihan calon telah dilakukan sebelumnya dengan jalan musyawarah. Hari ini, pemilihan dilakukan dengan jalan voting untuk menentukan siapa lurahnya. Sebelumnya, tentu saja ada sesi penyampaian visi misi dari calon lurah, namun aku terlambat hadir. Kutanyakan hal tersebut pada karibku untuk menentukan pilihanku. Selanjutnya, aku harus izin tidak mengikuti agenda karena ada suatu hal di kampus.
Berminggu-minggu telah berlalu seperti biasa, namun aku masih tidak tau kepada Gus Irsyadi, lurah baru pesantren.
Pada acara peringatan maulid nabi, seperti biasa akan ditampilkan penampilan-penampilan dari para santri, baik itu nasyid, qiroah, tilawah Al-Qur'an, maupun sholawah. Ketika acara dimulai, aku baru pulang dari kampus. Ketika aku hendak menuju acara kegiatan, aku mendengar alunan sholawah yang begitu menggetarkan. Suara siapa ini? Suara ini pernah kudengar ketika pertama kali aku melihat sepasang mata yang tulus itu, akankah mereka orang yang sama? Buru-buru aku menuju tempat acara, rupanya benar pemilik suara itu adalah orang yang sama dengan pemilik sepasang mata yang tulus itu. Dan, lihat...... Aku melihat wajahnya, astaghfirullah, wajahnya begitu tampan dan tulus seperti wajahnya hingga membuatku malu memandangnya dan kutundukkan wajahku. Baru kutau namanya setelah karibku berkata bahwa ia adalah Gus Irsyadi, lurah pesantren ini.

Alurnya berakhir hingga Gus Irsyadi menjadi suamiku. Namun, enggan kutulis runut karena ini hanya mimpi, mimpiku yang liar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TiLik (Titik Balik)

Hati-Hati dengan Hati