Hati-Hati dengan Hati

Tak sampai 5 menit kemudian, adzan maghrib berkumandang.
"Rebus sayurnya, lalu buat mie instan saja karena sudah terlalu sore untuk memasak, kalau kamu mau buat, ya buat aja sendiri ya!", kata Ibu.
"Udah hampir maghrib, Bu. Udah pokoknya aku cuma sampai masukin mie instan aja nggak sampai kasih bumbu. Maghrib, Bu..... Maghrib....", sahutku
"Ya udah, habis sayurnya matang masukin aja mie instannya dalam air, jangan lupa airnya diganti!"
"Mie nya dimasukin sebelum airnya mendidih, Bu?"
"Iya, terus tinggalin aja sana!"
Kata-kata terakhir Ibu begitu nyaring di telingaku beriringan dengan suara adzan maghrib. Rona wajahnya kusut seolah hendak menamparku. Aku berlalu untuk berwudlu dan sholat. Selepas kuangkat tangan untuk takbirotul ihrom, hatiku seolah menyusut,
"Yaa Allah, salahkah aku jika menolak Ibu dengan alasan mendahulukan sholat? Aku berkata kepada Ibu seolah-olah aku adalah hambamu yang amat taat, sedangkan terhadap perintah Ibu aku lengah. Manakah yang harus kudahulukan?.... Perintah sholat yang berbatas waktu ataukah perintah Ibu yang tak mengisyaratkan batasan waktu. Aku tinggalkan Ibu dengan berdalih mendahulukan perintahmu. Sedangkan menyegerakan perintah Ibu juga perintahmu. Padahal, aku tak banyak mengingatmu dalam sholatku. Selepas takbirotul ihrom, mulutku komat-kamit membaca iftitah sedangkan hati dan pikiranku sibuk dengan hal lain. Yaa Allah, ada kalanya kebodohan tampak sebagai pengetahuan dalam mata dzohir, ada pula sebaliknya. Jika dipikir-pikir, kesombongan memang bukan hak manusia, karena dia sendiri tidak tau keunggulan dalam dirinya itu adalah kebaikan atau keburukan. Sungguh, manusia akan terlihat amat lucu dan bodoh bagi yang berpengetahuan jikalau demikian. Yaa Allah, maafkanlah aku dan juga ibuku. Semoga Ibuku tak lagi bersikap kusut kepadaku"

Selepas sholat maghrib, Bapak ke masjid tak kunjung pulang dan Ibu keluar bersama adik balitaku yang tak kunjung pulang pula. Setelah hampir setengah jam, baru kusadari bahwa hanya aku seorang di rumah ini. Aku keluar dengan rona malam yang gelap dilputi pepohonan.
"Yaa Allah, beginikah keadaan orang yang tidak berhati-hati dengan hatinya"
Tak lama, sayup-saup kudengar suara tangisan adikku yang semakin nyaring. Lega rasanya bisa berharap ada yang akan segera kembali. Kulitku sedikit menegang melihat wanita paruh baya dengan seorang balita di dadanya. Semakin dalam kutatap mereka, semakin kabur pandanganku terhadap mereka. Ibu berlalu melewati rumah menuju pekatnya hamparan sawah dengan gemerlap lampu pabrik nan jauh di ujung barat daya.
"Ari, kenapa menangis?", kudekati mereka dengan gelombang syahdu tubbuhku yang berpadu dengan alam.
"Lihat, Le. Bulannya dilingkupi cincin melingkar di sekitarnya", Ibu dan adikku memandang langit pedesaan yang jernih dengan semburat mendung.
"Emang iya, Bu?", sambil kutatap bulan yang tampak biasa saja di balik rimbunnya daun-daun.
Aku tau ibuku tidak mungkin berbohong, kudekati Ibu dan kutatap bulan sekali lagi. Subhaanallah, sungguh indah. Lingkaran besar yang nampak seperti pelangi melingkupi bulan cembung di tanggal 10 Syawal 1441 H. Itu adalah halo bulan, sederhananya ia sama halnya dengan pelangi yang timbul akibat pembelokan cahaya oleh unsur-unsur di atmosfer bumi. Ketika itu, Vibrasi atom-atom dalam tubuhku nampaknya mulai terasa dan saat itu Ibu sudah bersikap biasa kepadaku, Terima kasih Ibu. Ia adalah hambamu yang sangat mudah memaafkan, rahmati ia Yaa Allah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TiLik (Titik Balik)

Mimpi di 2 Juni